Oleh ; Prof . I . Nyoman Sutantra MSc.Phd
Renungan
Jika Ada Dharma dihati, maka akan ada keindahan laku.
Jika ada keindahan laku, maka akan ada keharmonisan rumah tangga.
Jika ada keharmonisan rumah tangga, maka akan ada kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan ber-bangsa dan ber-negara.
Enam bulan kita telah merayakan hari suci Galungan – Kuningan, hari kemenangan Dharma, enam bulan juga kita telah menjalani kehidupan ber-masyarakat, ber-bangsa dan ber-negara. Karena berjalannya waktu, karena berbagai godaan yang datang dari luar dan dari dalam diri, maka sangat mungkin berbagai kesalahan dan dosa telah kita lakukan karena terkikisnya Dharma dari hati kita.
Dengan terkikisnya Dharma dihati, maka berbagai masalah yang dapat merusak suasana kerukunan, kedamaian, keharmonisan dan ketentraman dalam kehidupan ber-masyarakat, ber-bangsa dan ber-negara. Inilah saatnya dihari suci Galungan dan Kuningan ini sambutlah Avatara yang akan membawa kemenangan Dharma dihati kita. Dalam sloka Bhagavad Gita Bab IV. Sloka 7 disebutkan sebagai berikut :
Yadaa-yadaa hi dharmasya glaanir bhavati bhaarata, abhyuttaanam adharmasya tadaa’tmaanam srjaamy aham.
Yang artinya : O Barata, kapanpun dan dimanapun didunia ini jika A-Dharma menguasai hati manusia, menguasai dunia, dan Dharma sudah terkikis dihati manusia, maka pada sat itu pula Aku akan menjelma untuk menegakkan kembali Dharma.
Perayaan hari suci Galungan dan Kuningan sebagai hari kemenangan Dharma adalah untuk memperingati kemenangan Dharma melawan A-Dharma, sehingga Dharma bangkit lagi dihati manusia. Perayaan ini dilandasi oleh kemenangan Dharma melawan A-Dharma yang diungkap dalam purana dan itihasa. Dengan merayakan hari suci Galungan dan Kuningan secara benar dengan Yajna Satwika serta pemahaman secara mendalam arti filsafat dari pelaksanaan Yajna tersebut, maka akan dapat membangkitkan kemenangan Dharma dihati umat manusia. Dengan Dharma dihati itulah modal utama dalam membangun kehidupan masyarakat yang rukun, damai, harmonis, adil dan sejahtera atau masyarakat yang Shantih Jagadhita.
Dalam Siva Purana diungkapkan bahwa kehidupan umat manusia di bumi kehilangan kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan karena dikuasai oleh para raksasa yang dilanda sifat A-Dharma yaitu sifat tamasika dan rajasika. Disamping itu karena keserakahan dari para raksasa, sehingga merusak ketentraman kehidupan umat manusia, sampai-sampai ia ingin menguasai Surga, sehingga mengganggu kehidupan para Dewa di Surga. Karena tugas para Dewa adalah menjaga ketentraman kehidupan manusia di Bumi dan kehidupan Surga, maka para Dewa sebagai penegak Dharma harus turun berperang melawan para Raksasa yang bersifat A-Dharma. Disinilah terjadi perang antara para Dewa ( Dharma ) yang dipimpin oleh Kartikeya ( putra dewa Siwa ) dengan para Raksasa ( A-Dharma ) yang akhirnya dimenangkan oleh para Dewa ( Dharma ). Karena kemenangan para Dewa ( Dharma ) dan hancurnya para Raksasa ( A-Dharma ), maka Dharma kembali ditegakkan dan kehidupan umat manusia di bumi kembali rukun, damai, harmonis, adil dan sejahtera atau kehidupan Shantih Jagadita serta kehidupan Surga tidak lagi diganggu oleh para raksasa.
Dalam Itihasa Ramayana yang terjadi pada jaman Treta Yuga, raja raksasa yaitu Rahwana adalah raja yang bersifat A-Dharma, sangat serakah akan harta, tahta dan wanita. Dengan keserakahan raja Rahwana tersebut maka kehidupan para pertapa, para raja, orang-orang suci dan umat manusia selalu terancam, tidak aman, tidak damai, bahkan tersiksa dan terbunuh jika menentang raja Rahwana. Banyak pertapa yang dibunuh oleh pasukan raksasa dari raja Rahwana, banyak raja yang disiksa dan terbunuh setelah ditaklukan oleh raja Rahwana. Saking serakahnya, raja Rahwana juga menantang para Dewa dan mau menguasai Surga. Karena kehidupan di bumi terguncang, Surga juga terganggu oleh keserakahan dari raja Rahwana, maka Avatara Wisnu turun ke bumi, sebagai Rama Dewa putra sulung dari raja Dasarata untuk kembali menegakkan Dharma dan melindungi orang-orang saleh dan menghancurkan angkara murka ( A-Dharma ) yaitu raja Rahwana. Perang terjadi antara Rama sebagai simbul Dharma melawan Rahwana sebagai simbul A-Dharma yang dimenangkan oleh Rama. Setelah Rahwana gugur dalam perang, Wibisana adik Rahwana yang teguh menegakkan Dharma dinobatkan sebagai Raja Alengka menggantikan Rahwana. Dengan Dharmalah Wibisana dapat membawa Alengka menjadi negara damai, harmonis, adil dan sejahtera.
Begitu juga Itihasa Mahabarata yang terjadi pada Dwapara Yuga mengungkapkan bahwa turunnya Avatara Wisnu yaitu Krisna untuk menegakkan kembali Dharma dan melindungi orang-orang saleh dan menghancurkan orang-orang jahat. Seperti diungkapkan dalam Bhagavadgita bab IV.Sloka 8 sebagai berikut :
Paritraanaaya saadhunaam vinaasaaya ca duskrtaam, dharmasaamstaapanaarthaaya sambhavaami yuge-yuge.
Yang artinya bahwa turunnya Avatara Wisnu Ke Bumi adalah untuk melindungi orang-orang soleh atau orang-orang baik dan membasmi orang-orang jahat, untuk membangkitkan kembali Dharma dihati setiap manusia Avatara akan turun di setiap jaman.
Avatara Krisna turun ke bumi adalah untuk melindungi dan menyelamatkan orang-orang baik yaitu Pandawa yang teguh menegakkan Dharma dan untuk membasmi orang-orang jahat yaitu Kurawa yang menegakkan A-Dharma. Akibat sifat A-Dharma yang dilakukan oleh Kurawa, maka perang besar yaitu Bharata Yuda terjadi antara Pandawa sebagai simbul Dharma yang dilindungi Avatara Krisna melawan Kurawa dengan simbul A-Dharma, dan dimenangkan oleh Pandawa. Dengan dibasminya Kurawa ( A-Dharma ) dan dengan dinobatkannya Yudhistira ( Pandawa ) sebagai raja Astina Pura, maka Astina Pura menjadi kerajaan yang rukun, damai, harmonis, adil dan sejahtera.
Rama Dewa sebelum berperang melawan Rahwana, Rama diusir oleh ayahnya raja Dasarata ke hutan selama 14 tahun, karena hasutan ibu tirinya Ratu Keikayi, sampai istrinya Dewi Sinta diculik oleh Rahwana sehingga terjadi perang Rama dengan Rahwana. Karena Rama adalah simbul dari Dharma maka kepergiannya ke hutan mengandung nilai filsafat yang sangat dalam yaitu melakukan jana krtih (penyucian diri), atma krtih (penyucian bathin), buwana krtih (penyucian alam), wana krtih (penyucian hutan), danu krtih (penyucian danau,sungai) segara krtih (penyucian pantai,laut). Proses penyucian tersebut mengandung makna bahwa untuk kemenangan Dharma dihati, orang harus dapat menjadi manusia Tri Kaya Parisudha (manacika, wacika, kayika) dan dapat menegakkan filsafat Tri Hita Karana (Parahiyangan, Pawongan, Palemahan).
Pandawa sebelum terjadi perang besar Bharata Yuda, karena keserakahan dan kelicikan Kurawa dalam permainan dadu, sehingga Pandawa kalah dan diusir kehutan selama 13 tahun. Karena keteguhan Pandawa menegakkan Dharma dan atas perlindungan dari Krisna sehingga Pandawa berhasil dengan baik mengokohkan diri menjadi manusia Tri Kaya Parisudha dan teguh memegang prinsip Tri Hita Karana. Dengan kekuatan Dharma tersebut dan perlindungan dari Avatara Krisna, maka Pandawa dapat memenangkan perang Bharata Yuda melawan Kurawa.
Sebuah Purana di Bali mengungkapkan bahwa, kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat Bali hancur setelah seorang raja sangat sakti bersifat A-Dharma,sangat serakah yang memaksa rakyat Bali untuk tidak lagi melaksanakan kegiatan sesuai ajaran Dharma. Masyarakat Bali tidak boleh lagi memuja Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dan para Dewa, dan harus memuja dan memberi upeti yang besar kepada raja sakti tersebut yaitu raja Maya Denawa. Karena kekacauan yang terjadi akibat prilaku raja Maya Denawa yang A-Dharma, dan karena puja, tapa brata dan meditasi yang dilakukan oleh seorang suci memohon perlindungan tuhan yang maha kuasa, maka turunlah Batara Indra dan bala tentaranya. Turunnya Batara Indra dan bala tentaranya adalah untuk melindungi masyarakat Bali dan menumpas raja A-Dharma yaitu Maya Denawa. Terjadilah perang besar antara pasukan Dewa Indra sebagai simbul Dharma melawan pasukan raja Maya Denawa sebagai simbul A-Dharma, yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Batara Indra. Setelah gugurnya raja Maya Denawa, masyarakat Bali kembali hidup rukun, damai, harmonis, adil dan sejahtera.
Dari uraian Purana dan Itihasa tersebut, maka pelaksanaan yajna hari suci Galungan dan Kuningan adalah untuk menegakan kembali Dharma dihati, untuk menjadi manusia Tri Kaya Parisudha dengan satunya pikiran (manacika), perkataan (wacika), perbuatan (kayika) dalam tuntunan Dharma. Atau kita dapat menjadi manusia yang selalu dapat dengan teguh dan juga santun dalam menegakkan kebenaran (satyam), kebajikan (sivam), dan menjaga serta membangun keindahan, kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan (sundaram). Disamping itu perayaan hari suci Galungan dan Kuningan juga dimaksudkan utuk meneguhkan konsep kehidupan yang harmonis keatas, kepada Tuhan Yang Maha Esa (parahiyangan), harmonis secara horizontal yaitu sesama mahluk (pawongan), dan harmonis kebawah yaitu kepada alam (palemahan) atau disebut konsep ajaran Dharma yaitu Tri Hita Karana. Oleh karena itu maka Yajna hari suci Galungan dan Kuningan dilaksanakan berlandaskan kepada ajaran Tri Kaya Parisudha dan Satyam Sivam Sundaram dengan urutan pelaksanaan sebagai berikut.
- Hari Sugihan Jawa : berasal dari 2 kata, Sugihan artinya penyucian, sedangkan jawa berarti alam semesta atau buwana agung. Sugihan Jawa mengandung arti yajna penyucian alam yang meliputi Buwana Krtih (penyucian, pembersihan alam lingkungan), Wana Krtih (penyucian, pembersihan hutan, pepohonan), Danu Krtih (penyucian,pembersihan danau dan sungai), dan Segara Krtih (penyucian,pembersihan pantai, laut). Karena Pura, Parahiyangan atau tempat suci sebagai niasa dari alam semesta, maka di hari sugihan jawa sering umat melakukan pembersihan tempat suci. Penyucian dan pembersihan alam semesta ini punya arti yang dalam yaitu agar alam semesta (sebagai prakrti) tidak mengganggu manusia dengan sifat Tri Guna yaitu sifat Tamasika (kemalasan,kebodohan), Rajasika (kenafsuan, keserakahan) dan Satwika (kebaikan yang tergantung pada duniawi).
- Hari Sugihan Bali : setelah hari Sugihan Jawa, hari berikutnya dilaksanakan yajna sugihan bali yaitu penyucian dan pembersihan diri manusia secara lahir atau Jana Krtih dan secara bathin ataun Atma Krtih. Penyucian dan pembersihan diri secara lahir dan bathin ini mengandung makna agar musuh-musuh yang ada dalam diri yaitu Sad Ripu yaitu Kama, Kroda, Lobha, Mada, Matsya dan Moha menjadi bersih, sehingga tidak lagi mengganggu manusia dalam melaksanakan yajna hari suci Galungan dan Kuningan. Disamping itu musuh dalam diri yang berupa 7 kesombongan dan keangkuhan yaitu Sapta Timira yaitu sombong karena kekuasaan, kekayaan, kekuatan, kecantikan, kepintaran,keturunan dan kemudaan.
- Penyekeban : setelah hari sugihan bali, hari berikutnya dilakukan yajna penyekeban yang artinya sebagai yajna untuk memagari diri yaitu pikiran , perkataan dan perbuatan, agar musuh atau godaan dari luar berupa Tri Guna dan dari dalam diri berupa Sad Ripu dan Sapta Timira tidak dapat mengganggu manusia dalam beryajna untuk menegakkan kembali Dharma dihati manusia.
- Penyajaan : sehari setelah hari penyekeban dilaksanakan yajna penyajaan yang artinya umat manusia menyiapkan diri dan bertekad bulat lahir dan bathin, dengan mengendalikan pikiran perkataan dan perbuatan untuk menundukan sifat A-Dharma serta menegakkan Dharma dihati. Manusia bertekad menyiapkan dirinya menjadi “kuru setra” yaitu medan perang antara sifat Dharma melawan A-Dharma.
- Penampahan : sehari setelah penyajaan dilaksanakan yajna penampahan. Penampahan berasal dari kata tampah yang artinya menundukkan, sehingga penampahan mengandung arti bahwa manusia mulai berperang untuk menundukkan sifat Tamasika dan Rajasika dengan “nampah” babi, karena babi adalah simbul dari sifat Tamasika dan Rajasika. Dihari penampahan sifat Tamasika (malas) ditundukkan dan dirubah menjadi sifat rajin yaitu dengan bangun pagi jam 03.00 bersama-sama untuk nampah babi. Sifat Tamasika yaitu sifat kenafsuan atau ambisi dan serakah ditundukkan dan dirubah menjadi sifat yang kreatif dan analistis untuk membuat “lawar” dan berbagai masakan untuk yajna dan prasadam yang dicampur dengan berbagai bumbu dengan aturan dan takaran yang tepat. Setelah menundukkan sifat Tamasika dan Rajasika, maka umat manusia mengendalikan sifat Satwika yaitu sifat kebaikan agar tidak mengikatkan diri dengan duniawi. Untuk itu umat mulai membuat penjor sebagai niasa dari sifat Satwika yang lascarya dilandasi Dharma. Segala perwakilan isi alam ada dalam penjor yang dibuat dari bambu yang tegak lurus, yang menunjukkan sifat kebaikan yang teguh dalam menegakkan Dharma sehingga tidak tergoda oleh Tri Guna dan Sad Ripu. Kemudian pada puncak penjor melengkung secara indah dengan digantungkan Ong Kara yaitu simbul dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut mengandung arti bahwa manusia harus selalu mengingat Tuhan agar tidak sombong dan angkuh atau dapat menundukkan Sapta Timira dari dalam diri. Bagian penjor yang tegak keatas mengandung arti kebenaran (satyam), bagian yang melengkung indah mengandung arti kebajikan (sivam), dan “sampian” penjor yang indah tergantung diujung mengandung arti tercapainya tujuan hidup yang indah (sundaram).
- Hari Galungan : setelah penampahan atau setelah umat manusia dapat menundukkan godaan dari luar yaitu Tri Guna dan sudah siap untuk menundukkan Sad Ripu dan Sapta Timira serta juga siap untuk menegakkan kebenaran (satyam), Kebajikan (sivam) untuk menuju kehidupan yang indah, damai, sejahtera (sundaram), maka manusia melaksanakan yajna Galungan. Dengan melaksanakan yajna Galungan, umat manusia mulai mengendalikan (10) indrianya sampai dengan hari Kuningan. Indria yang harus bisa dikendalikan adalah Panca Budindria yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit, serta lima indria lainnya yaitu Panca Karmendria yang terdiri dari tangan, kaki, mulut, alat kelamin dan dubur. Pengendalian sepuluh (10) indria ini dimaksudkan agar manusia dapat menundukkan godaan A-Dharma yang datang dari luar dan dalam diri manusia.
- Hari Kuningan : Pada hari suci Kuningan umat manusia harus mengendalikan indria yang ke 11 atau mengendalikan rajanya dari 10 indria yang disebut Rajendria yaitu pikiran agar pikiran menjadi “uning” atau paham kembali akan ajaran Dharma dan menjadi “hening” yaitu menjadi cerdas dalam Dharma. Untuk dapat mengendalikan 10 indria tersebut dan pikiran, kita harus bisa melakukan Catur Ga, seperti dituntun dalam sastra : Gita gangga ca gayatri govindeti catus tayam, catur gakara sam yukte punar janma na vidyatte. Artinya untuk mengendalikan 10 indria dan pikiran, manusia harus selalu membaca dan memahami pengetahuan agama (gita), menyucikan diri lahir dan bathin (gangga), berdoa dengan penuh bhakti kepada Tuhan (gayatri) dan harus selalu mengingat atau menyebut nama Tuhan (govinda). Dengan melakukan Catur Ga yaitu gita, gangga, gayatri dan govinda, maka hati dan pikiran manusia menjadi uning dan hening sehingga manusia dapat memenangkan Dharma dihati untuk membangun kehidupan yang Shantih Jagadhita yaitu kehidupan rukun, damai, harmonis, adil dan sejahtera.
Dengan memahami secara mendalam arti dan makna serta melaksanakan yajna hari suci Galungan dan Kuningan yaitu hari kemenangan Dharma dengan ketulusan dan penuh rasa bhakti, maka manusia akan dapat menegakkan Dharma dihati. Dengan Dharma dihati maka manusia menjadi manusia dengan Tri Kaya Parisudha, Tri Hita Karana dan Satyam Sivam Sundaram yang mampu menundukkan berbagai musuh, godaan yang datang dari dalam dan dari luar diri manusia, sehingga siap membangun kehidupan keluarga, ber-bangsa dan ber-negara yang rukun, damai, harmonis, adil dan sejahtera, atau kehidupan yang Shantih Jagadhita.
Om Shantih Shantih Shantih Om